Sunday, June 26, 2016

Khutbah Pertama:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُهُ وَخَلِيْلُهُ وَأَمِيْنُهُ عَلَى وَحْيِهِ وَمُبَلِّغُ النَّاسِ شَرْعِهِ، مَا تَرَكَ خَيْراً إِلَّا دَلَّ الأُمَّةَ عَلَيْهِ وَلَا شَرّاً إِلَّا حَذَّرَهَا مِنْهُ؛ فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

أَمَّا بَعْدُ مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَرَاقِبُوْهُ مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ.

Segala puji bagi Allah ‘Azza wa Jalla, yang telah menganugerahkan kepada umat manusia hati nurani, yang dengannya mereka menjadi berakal, mampu berfikir, merenung, dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dialah yang menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kalian bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allah‘Azza wa Jalla memberikan mereka telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan hati -yakni akal yang tempatnya di hati- untuk membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan… Dan Allah ‘Azza wa Jallamemberikan umat manusia kenikmatan-kenikmatan ini, agar dengannya mereka dapat beribadah kepada Rabb-nya”.
Shalawat dan salam, semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, sang teladan yang telah mendorong umatnya, untuk terus meningkatkan kemampuan akalnya dalam memahami agama ini, sebagaimana dalam sabdanya,

مَنْ يُرِدْ اللهُ بهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan dipahamkan dalam agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu pula dalam sabdanya,

خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ، إِذَا فَقُهُوا

“Orang yang paling baik di masa jahiliyyah, adalah orang yang paling baik setelah masuk Islam, jika mereka menjadi seorang yang faqih (ahli dan alim dalam ilmu syariat).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibadallah,
Lihatlah bagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dorongan kepada umatnya untuk menjadi muslim yang benar-benar memahami syariat Islam, dan itu tidak mungkin dicapai, kecuali dengan memanfaatkan sebaik mungkin akalnya.
Perlu diketahui bahwa sebagian ulama membagi akal menjadi dua jenis yaitu akal insting dan akal tambahan. Akal insting adalah kemampuan dasar manusia untuk berfikir dan memahami sesuatu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan akal tambahan adalah kemampuan berfikir dan memahami, yang dibentuk oleh pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dua akal ini berkumpul pada seorang hamba, maka itu merupakan anugerah besar yang diberikan oleh Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya, urusan hidupnya akan menjadi baik, dan pasukan kebahagiaan akan mendatanginya dari segala arah.
Tentunya adanya pembedaan dua jenis akal di atas, tidak berarti adanya pemisah antara akal insting dengan akal tambahan. Karena akal tambahan pada dasarnya adalah akal insting yang telah berkembang seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman yang diperoleh seseorang. Bisa dikatakan, bahwa akal tambahan melazimkan adanya akal insting. Sebaliknya, sangat jarang adanya akal insting yang tidak berkembang seiring berjalannya waktu,wallahu a’lam.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Akal merupakan karunia agung yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada bani Adam. Ia adalah pembeda antara manusia dengan hewan, dengannya mereka dapat terus berinovasi dan membangun peradaban, dan dengannya mereka dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya sesuai jangkauan akal mereka.
Karena besarnya karunia akal ini, Islam menggariskan banyak syariat untuk menjaga dan mengembangkannya, seperti:
Mengharamkan apapun yang dapat menghilangkan akal, baik makanan, minuman, ataupun tindakan. Juga memberikan hukuman khusus berupa cambuk, bagi mereka yang sengaja makan atau minum apapun yang memabukkan.Memasukkan akal dalam lima hal primer yang harus dijaga dalam syariat Islam, yakni: agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.Menjadikannya sebagai syarat utama taklif (kewajiban dalam syariat). Oleh karena itu, ada batasan baligh, karena orang yang belum baligh biasanya kurang sempurna akalnya. Oleh karena itu pula, semua orang yang hilang akalnya, bebas atau gugur kewajibannya menjalankan syariat.Menganjurkan, bahkan mewajibkan umatnya untuk belajar. Lalu memberikan derajat yang tinggi bagi mereka yang berilmu dan mengamalkan ilmunya.Melarang umatnya membaca bacaan atau mendengarkan perkataan-perkataan, yang dapat menyesatkannya dari pemahaman yang benar.Semua hal di atas digariskan oleh Islam, terutama untuk menjaga nikmat akal, mensyukurinya, dan mengembangkannya. Bahkan dalam Alquran, sangat banyak kita dapati ayat-ayat yang mendorong manusia agar memanfaatkan akalnya untuk hal-hal yang berguna, terutama untuk mencari hakikat kebenaran. Berikut ini, merupakan sebagian kecil dari contoh ayat-ayat tersebut:

وَهُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Dia pula yang mengatur pergantian malam dan siang. Tidakkah kalian menalarnya?!” (QS. Al-Mukminun: 80).

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

“Katakanlah: samakah antara orang yang buta dengan orang yang melihat?! Tidakkah kalian memikirkannya?!” (QS. Al-An’am: 50).

انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ

“Perhatikanlah, bagaimana kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda kekuasaan Kami, agar mereka memahaminya!” (QS. Al-An’am: 65).

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Tidakkah mereka merenungi Alquran?! Sekiranya ia bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa': 82).

أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿١٧﴾ وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ ﴿١٨﴾ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾ وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾ فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ

“Tidakkah kalian memperhatikan pada onta, bagaimana ia diciptakan? Dan pada langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan pada gunung-gunung, bagaimana itu ditegakkan? Dan pada bumi, bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan.” (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20).
Kaum muslimin rahimakumullah,
Betapa pun jenius dan tingginya kemampuan akal, tetap saja ia merupakan salah satu dari kekuatan manusia. Dan tidak bisa kita pungkiri bahwa semua kekuatan manusia pasti memiliki batasan dan titik lemah. Tidak lain, itu disebabkan karena sumber kekuatannya adalah makhluk yang lemah, dan sumber yang lemah, tentu akan menghasilkan sesuatu yang ada lemahnya pula.
Di antara bukti adanya titik lemah pada akal manusia, adalah adanya banyak hakikat yang tidak bisa dijelaskan olehnya, seperti: hakikat ruh, mimpi, jin, mukjizat, karamah, dan masih banyak lagi. Belum lagi, seringnya kita dapati adanya perubahan pada hasil penelitiannya; dahulu berkesimpulan dunia ini datar, lalu muncul teori bulat, lalu muncul teori lonjong. Dahulu mengatakan minyak bumi adalah sumber energi tak terbarukan, lalu muncul teori sebaliknya. Dahulu mengatakan matahari mengitari bumi, lalu muncul teori sebaliknya, dan begitu seterusnya.
Kenyataan ini menunjukkan, bahwa akal tidak layak dijadikan sebagai sandaran untuk menetapkan kebenaran hakiki. Apabila ada sumber kebenaran hakiki yang diwahyukan, maka itulah yang harus dikedepankan, sedangkan akal diberi ruang untuk memahami dan menerima dengan apa adanya.
Oleh karenanya –kaum muslimin rahimakumullah-, Islam memberi ruang khusus bagi akal, ia hanya boleh menganalisa sesuatu yang masih dalam batasan jangkauannya, ia tidak boleh melewati batasan tersebut, kecuali dengan petunjuk nash-nash yang diwahyukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Akal merupakan syarat dalam mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna, dan dengannya ilmu dan amal menjadi lengkap. Namun (untuk mencapai itu semua), akal bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan kemampuan dan kekuatan dalam diri seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada pada mata. Maka apabila akal itu terhubung dengan cahaya iman dan Alquran, maka itu ibarat cahaya mata yang terhubung dengan cahaya matahari atau api”.
Ibadallah,
Karena kenyataan ini, maka hendaklah kita mengetahui batasan-batasan akal, sehingga kita tahu, kapan kita boleh melepas akal kita di lautan pandangan, dan kapan kita harus mengontrolnya dengan wahyu Allah ‘Azza wa Jalla. Ini merupakan bentuk lain dari penghormatan Islam terhadap akal. Islam menempatkannya pada posisi yang layak, sekaligus menjaganya agar tidak terjatuh ke dalam jurang kesesatan yang membingungkan.
Di antara beberapa hal, yang kita tidak boleh mengedepankan akal dalam membahasnya adalah:
Hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan perkara-perkara ghaib. Seperti menetapkan atau menafikan Nama dan Sifat Allah ‘Azza wa Jalla, surga dan neraka, nikmat dan siksa kubur, jin dan setan, malaikat, keadaan hari kiamat, dan lain-lain.Dasar-dasar akhlak dan adab yang tidak bertentangan dengan syariat, seperti adab makan dan minum, adab buang hajat, akhlak terhadap orang tua, sesama, dan anak kecil, dan lain-lain.Ajaran syariat Islam, terutama dalam masalah ibadah, seperti menetapkan atau menafikan syariat shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dan lain-lain.Dalam perkara-perkara ini, memang dibutuhkan akal untuk memahami, merenungi, dan menyimpulkan suatu hukum dari dalil, tapi akal tidak boleh keluar dari dalil yang ada, ia tidak boleh menentangnya, ataupun mengada-ada.
Adapun yang berhubungan dengan alam semesta yang kasat-mata, maka itulah lautan luas yang diberikan kepada akal manusia untuk terus menganalisa dan meneliti, terus menemukan dan mengolahnya. Inilah yang banyak disinggung dalam firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ

“Tidakkah mereka memperhatikan kerajaan langit dan bumi, serta segala sesuatu yang diciptakan Allah?!” (QS. Al-A’raf: 185).

وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِين ﴿٢٠﴾ وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونََ

“Di bumi itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang yakin… dan juga pada diri kalian sendiri, tidakkah kalian memperhatikannya?!” (QS. Adz-Dzariyat: 20-21).

أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوج ﴿٦﴾ وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ ﴿٧﴾ تَبْصِرَةً وَذِكْرَىٰ لِكُلِّ عَبْدٍ مُنِيبٍ

“Maka tidakkah mereka memperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami membangun dan menghiasinnya dan tidak ada keretakan sedikitpun padanya?… Dan (bagaimana) bumi Kami hamparkan, Kami pancangkan di atasnya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan di atasnya tanaman-tanaman yang indah… Agar menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk kepadaNya).” (QS. Qaf: 6-8).
Demikianlah syariat Islam menegaskan fungsi akal bagi manusia. Ia tidak dilebih-lebihkan dengan menganggapnya serba bisa, karena hakikatnya memang akal memiliki batasan. Ia juga tidak diremehkan, karena dengannya juga syariat bisa diterima dan ditalar.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، وَنَفَعْنَا بِهَدْيِ سَيِّدِ المُرْسَلِيْنَ وَقَوْلُهُ القَوِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.

Khutbah Kedua:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرِ لَهُ عَلَى مَنِّهِ وَجُوْدِهِ وَامْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ تَعْظِيْماً لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَلدَّاعِيْ إِلَى رِضْوَانِهِ؛ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَعْوَانِهِ.

أَمَّا بَعْدُ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى .

Kaum muslimin rahimakumullah,
Setelah kita memahami uraian sebelumnya, tentu kita akan sampai pada kesimpulan, bahwa akal merupakan nikmat yang sangat agung, namun ia bukanlah segalanya. Kita harus menempatkannya pada tempat yang layak, dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak bisa dijangkau olehnya.
Jika ada keterangan wahyu dalam masalah apapun, maka itulah yang harus didahulukan, dan akal harus menyesuaikan dengannya, memahaminya, dan menerimanya dengan apa adanya. Memang, kadang keterangan wahyu menjadikan akal tertegun, namun ia tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil.
Akhirnya, khotib tutup khotbah yang singkat ini dengan perkataan yang layak ditorehkan dengan tinta emas, dari salah seorang ulama besar Islam, beliau adalah Ibnu Abil Izz rahimahullah dalam Syarah Aqidah Thahawiyyah:

وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الأَخْبَارُ عَنْ رَسُوِلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثُبُوْتِ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَنَعِيْمِهِ لِمَنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلاً, وَسُؤَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ , فَيَجِبُ إِعْتِقَادُ ثُبُوْتِ ذَلِكَ , وَالإيْمَانُ بِهِ , وَلاَ نَتَكَلَّمُ فِي كَيْفِيَّتِهِ , إِذْ لَيْسَ لِلْعَقْلِ وُقُوْفٌ عَلَى كَيْفِيَّتِهِ, لِكَوْنِهِ لاَ عَهْدَ لَهُ بِهِ غَيْرُ هَذِهِ الدَّارِ, وَالشَّرْعُ لاَ يَأْتِي بِمَا تُحِيْلُهُ الْعُقُوْلُ , وَلَكِنَّهُ قَدْ يَأْتِي بِمَا تُحَارُ فِيْهِ الْعُقُوْلُ

“Telah datang keterangan dalam banyak hadits yang telah mencapai derajat mutawatir, tentang adanya adzab kubur dan nikmatnya bagi orang yang berhak, serta pertanyaan kubur bagi mereka yang mukallaf. Maka itu wajib diyakini dan diimani kebenarannya, dan kita tidak boleh membicarakan tentang gambaran detailnya, karena memang akal tidak boleh menerka gambaran detailnya, demikian itu, karena akal tidaklah menyaksikan kecuali dunia yang ada ini. Dan syariat tidak akan datang dengan sesuatu yang dimustahilkan akal, meski kadang datang dengan sesuatu yang membingungkannya.”
Mudah-mudahan khotbah yang singkat ini bermanfaat, terutama bagi penulis sendiri, dan umumnya bagi para jamaah sekalian.

عِبَادَ اللهِ: وَ صَلُّوْا وَسَلِّمُوْا -رَعَاكُمُ اللهُ- عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:56] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا)).

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ .وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.

اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ. اَللَّهُمَّ احْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنِ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِي رِضَاكَ وَأَعِنْهُ عَلَى طَاعَتِكَ وَارْزُقْهُ البِطَانَةَ الصَّالِحَةَ النَّاصِحَةَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ.

للَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوْبَ المُذْنِبِيْنَ مِنَ المُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَتُبْ عَلَى التَّائِبِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَارْحَمْ مَوْتَانَا وَمَوْتَى المُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَاشْفِ مَرْضَانَا وَمَرْضَى المُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ فَرِجّْ هُمُ المَهْمُوْمِيْنَ مِنَ المُسْلِمِيْنَ وَفَرِّجْ كَرْبَ المَكْرُوْبِيْنَ، وَاقْضِ الدَّيْنَ عَنِ المَدِيْنِيْنَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ أَنْتَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ الوَكِيْلِ. { رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ }.{ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ }.

عِبَادَ اللهِ: اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ ،  وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ .

(Diadaptasi dari tulisan Ustadz Musyafa di majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1433H/2012M).


Saturday, June 18, 2016

Khutbah Pertama:

الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ, أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَأَشْكُرُهُ, وَأَسْأَلُهُ الْمَغْفِرَةَ يَوْمَ الدِّيْنِ.وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَامَحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ بِاالْهُدَى وَالنُّوْرِالْمُبِيْنِ,صَلَّى اللهُ وَ عَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

أَمَّا بَعْدُ

فَأُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ تَعَالَى:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ، فَإِنَّ مَنِ اتَّقَى اللهَ وَقَاهُ، وَأَرْشَدَهُ إِلَى خَيْرِ أُمُوْرِ دِيْنِهِ وَدُنْيَاهُ.

Kaum muslimin rahimani warahimakumullah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ﴿العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ﴾.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Rasulullahshallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Umrah satu ke umrah lainnya adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibadallah,
Dalam hadits yang baru saja khotib sebutkan, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan umrah dan haji. Yaitu umrah dapat menebus dosa antara dua umrah. Penebus dosa semacam ini digolongkan oleh para ulama dalam kategori amal shaleh atau ketaatan. Akan tetapi amal shaleh tersebut menurut mayoritas ulama ahlus sunnah hanya dapat menebus dosa kecil saja, itu pun dengan syarat menjauhi dosa-dosa besar. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dalam beberapa hadis, di antaranya:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Shalat lima waktu, dan Jumat satu ke Jumat lainnya, dan Ramadhan satu ke Ramadhan lainnya adalah penebus dosa antara kesemuanya itu selagi seseorang menjauhi dosa-dosa besar.”
Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,

مَا مِنَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا، إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ»

“Tidaklah seorang muslim kedatangan waktu shalat fardhu kemudian ia membaguskan wudhunya, membaguskan khusyuknya dan rukuknya kecuali hal itu sebagai penebus dosa yang telah ia lakukan sebelumnya selagi ia tidak melakukan dosa besar, dan penebusan dosa itu berlangsung sepanjang zaman.” (HR. Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Semua dosa itu dapat diampuni dengan sebab amal shaleh kecuali dosa besar karena dosa besar itu hanya dapat ditebus dengan taubat.
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Ampunan yang disebutkan dalam hadis ini adalah selagi yang bersangkutan tidak melakukan dosa besar dan ini adalah pendapat ahlus sunnah, dan dosa besar itu hanya dapat ditebus dengan taubat atau rahmat dan keutamaan dari Allah Ta’ala.
Ibadallah,
Kemudian ada satu pertanyaan, “Jika seseorang tidak memiliki dosa kecil, karena dosa-dosa kecilnya telah tertebus dengan amal saleh lainnya seperti shalat lima waktu, Jumat, puasa Arafah dan lain-lain, dosa apakah yang akan ditebus oleh umrah tersebut?”
Jawabannya adalah, “Jika seseorang tidak memiliki dosa kecil dan dosa besar, maka umrah satu ke umrah lainnya tersebut dicatat sebagai amal shaleh yang dengannya derajat seorang hamba menjadi tinggi. Dan jika ia tidak memiliki dosa kecil akan tetapi memiliki dosa besar, maka diharapkan semoga dapat meringankannya.”
Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh as-Suyuthi rahimahullah pada salah satu hikmah yang beliau nukil dari Imam Nawawi rahimahullah bahwasannya jika ada yang mengatakan, “Jika wudhu itu penebus dosa, maka dosa apa yang akan ditebus oleh shalat? Dan jika shalat itu penebus dosa, maka dosa apa yang akan ditebus oleh puasa Arafah, puasa ‘Asyura’, dan ucapan amin seorang makmum yang bertepatan dengan ucapan amin para malaikat? Yang mana semua itu adalah penebus dosa sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Nabi. Maka jawabannya adalah sebagaimana jawaban para ulama yaitu semua amal shaleh itu adalah penebus dosa kecil jika dosa itu ada pada diri seorang hamba, dan jika pada dirinya tidak terdapat dosa besar atau kecil, maka semua amal shaleh itu ditulis sebagai kebaikan yang dengannya derajat seorang hamba ditinggikan, dan jika pada dirinya tidak ada dosa kecil, akan tetapi terdapat dosa besar maka kami berharap dapat memperingannya.
Kemudian apakah wujud penebusan dosa tersebut berupa penambahan berat timbangan kebaikan nanti pada hari kiamat atau penghapusan dosa?
Jawabannya adalah penebusan dosa tersebut berupa penghapusan dosa, sebagaimana yang telah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sebutkan dalam hadits lain bahwa amal kebaikan itu dapat menghapus dosa seorang hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا

“Dan iringilah perbutan jelek dengan perbuatan baik, maka perbuatan baik tersebut akan menghapusnya.” (HR. Tirmidzi).
Seorang hamba ketika meninggalkan dunia ini dalam keadaan berbeda-beda, ada yang tidak memiliki dosa sama sekali, karena ia telah diberi taufik oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk melakukan amal shaleh dan bertaubat kepada-Nya dari semua dosa-dosa besarnya, ada pula yang membawa amal shaleh dan membawa dosa besar selain syirik. Jika Allah ‘Azza wa Jalla menghendaki pengampunan maka dosa besar seorang hamba akan diampuni-Nya, dan jika tidak, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan melakukan timbangan amal untuk menentukan salah satu dari keduanya mana yang berat.
Oleh karena itu hendaknya seorang Muslim senantiasa waspada! Jika ia terjatuh ke dalam kubangan dosa kecil, maka hendaknya ia segera melakukan amal shaleh agar dosa akibat perbuatannya itu terhapus dengan amal shaleh yang dilakukannya. Sedangkan, jika ia terjatuh pada kubangan dosa besar, maka hendaknya ia segera bertaubat sebelum ia lupa dan sebelum datang kematian menghampirinya.
Kaum muslimin, jamaah Jumat rahimakumullah,
Dalam hadits tentang keutamaan haji dan umrah yang telah khotib sebutkan, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga menjelaskan keutamaan haji mabrur yakni haji yang tidak tercampuri dengan dosa. Balasan bagi orang yang hajinya mabrur tiada lain kecuali surga. Imam Nawawi rahimahullah menambahkan bahwa balasan bagi orang yang hajinya mabrur itu tidak hanya diampuni dosa-dosanya akan tetapi juga dimasukkan ke dalam surga.
Lalu timbul pertanyaan, “Apakah kriteria haji mabrur itu?
Para ulama, semisal Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahmenyebutkan empat kriteria haji mabrur, yaitu:
Pertama: Ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla, bukan karena riya’ seperti ingin mendapatkan pujian dan penghormatan dari masyarakat, dan juga bukan karena sum’ah seperti menceritakan bahwa ia sudah pernah berhaji dengan tujuan agar dipanggil Pak haji atau Bu hajah.
Kedua: Mutaba’ah mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallamdalam manasiknya, sebagaimana sabda Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam,

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ

“Hendaknya engkau ambil dariku tuntunan manasik kalian.” (HR. Muslim).
Ketiga: Dari harta yang halal, bukan dari harta yang haram seperti riba, hasil dari perjudian atau hasil dari merampas hak orang lain, atau hasil korupsi dan lain sebagainya, sebagaimana sabda Nabi:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ [المؤمنون: 51] وَقَالَ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ [البقرة: 172] ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟ ”

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik pula. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. maka, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ’Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,’Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyebutkan orang yang bepergian dalam waktu lama; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?”. (HR. Ahmad, Muslim, dan selainnya).
Keempat: Terbebas dari perbuatan rafats (jima’ atau perkataan dan perbuatan yang mengarah ke sana), dan fusuq (kefasikan), serta jidal (berdebat bukan dalam rangka menegakkan kebenaran). Hal ini sebagaimana penjelasan Nabishallallahu ’alaihi wa sallam dalam hadis belia shallallahu ’alaihi wa sallam,

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barangsiapa melakukan haji ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa berbuat keji dan kefasikan, maka ia kembali tanpa dosa sebagaimana waktu ia dilahirkan oleh ibunya”. (HR. Bukhari).
Ulama yang lain menyebutkan bahwa tanda haji mabrur adalah amal perbuatan seseorang setelah menunaikan ibadah haji lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Demikian –ibadallah- di antara keutamaan haji dan umrah. Mudah-mudahan sedikit penjelasan ini bisa menjadi motivasi kita untuk menunaikan ibadah haji dan umrah yang sesuai dengan tuntunan syariat Allah. Yakni syariat Islam yang diridhainya.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، وَنَفَعْنَا بِهَدْيِ سَيِّدِ المُرْسَلِيْنَ وَقَوْلُهُ القَوِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.

Khutbah Kedua:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرِ لَهُ عَلَى مَنِّهِ وَجُوْدِهِ وَامْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ تَعْظِيْماً لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَلدَّاعِيْ إِلَى رِضْوَانِهِ؛ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَعْوَانِهِ.

أَمَّا بَعْدُ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى .

Kaum muslimin rahimakumullah,
Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ﴾.

“Umrah satu ke umrah lainnya adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dapat kita petik pelajaran sebagai berikut:
Pertama: Amal shaleh dapat menebus dosa kecil, dan diantara amalan shaleh itu adalah umrah dan haji.
Kedua: Balasan haji mabrur selain bisa menebus dosa juga bisa menyebabkan masuk surga.
Ketiga: Harta yang halal merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan haji mabrur.
Keempat: Amal shaleh dapat mengangkat derajat seseorang di sisi Allah ‘Azza wa Jalla .
Kelima: Ikhlas dan mutaba’ah merupakan syarat dasar diterimanya amal shaleh.
Keenam: Taubat merupakan penebus dosa kecil dan besar.
Ketujuh: Bagi seorang hamba jika ia terjatuh dalam dosa kecil maka hendaknya ia segera melakukan amal shaleh sebagai kaffarah-nya, dan jika ia terjatuh dalam dosa besar maka hendaknya ia lekas-lekas bertaubat sebelum ia lupa atas dosa tersebut dan sebelum ajal menjemput nyawa.
Kedelapan: Seorang Muslim dalam melakukan amal shaleh hendaknya diniatkan untuk menebus dosa, kemudian diniatkan untuk mendapatkan pahala dan ridha Allah ‘Azza wa Jalla .
Kesembilan: Wujud dari penebusan dosa bagi seorang hamba adalah terhapusnya dosa hamba yang bersangkutan.
Kesepuluh: Dosa besar selain kesyirikan itu tergantung pada kehendak AllahSubhanahu wa Ta’ala , jika Dia menghendaki pengampunan maka diampuni dosa tersebut, dan jika tidak, maka dilakukan hisab.
Mudah-mudahan khotbah yang singkat ini bermanfaat bagi khotib pribadi dan jamaah sekalian.

عِبَادَ اللهِ: وَ صَلُّوْا وَسَلِّمُوْا -رَعَاكُمُ اللهُ- عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:56] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا)).

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ .وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.

اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ. اَللَّهُمَّ احْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنِ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِي رِضَاكَ وَأَعِنْهُ عَلَى طَاعَتِكَ وَارْزُقْهُ البِطَانَةَ الصَّالِحَةَ النَّاصِحَةَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ.

للَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوْبَ المُذْنِبِيْنَ مِنَ المُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَتُبْ عَلَى التَّائِبِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَارْحَمْ مَوْتَانَا وَمَوْتَى المُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَاشْفِ مَرْضَانَا وَمَرْضَى المُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ فَرِجّْ هُمُ المَهْمُوْمِيْنَ مِنَ المُسْلِمِيْنَ وَفَرِّجْ كَرْبَ المَكْرُوْبِيْنَ، وَاقْضِ الدَّيْنَ عَنِ المَدِيْنِيْنَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ أَنْتَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ الوَكِيْلِ. { رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ }.{ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ }.

عِبَادَ اللهِ: اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ ،  وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ .

[Diadaptasi dari tulisan Ustadz Ustadz Nur Kholis bin Kurdian di majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M).


Translate

Popular Posts